MARILAH KITA MENJALIN TALI SILATURRAHMI DENGAN MEBUKA DUNIA ILMU....

Mengenai Saya

Foto saya
suka mencari teman. suka bergaul...dan berbagi ilmu

Sabtu, 18 Juli 2009

JALAN DAMAI ISLAM

Jalan Damai Islam (Bali)

Oleh Ketut Syahruwardi Abbas(2)

Bali bukan cuma Sorga
Tahun 1978 Geoffrey Robinson melakukan perjalanan (wisata) ke Bali. Banyak yang ia lihat. Banyak yang ia catat. Sebagian besar mengenai jalan hidup orang Bali yang khas, tenteram, dan harmonis. Tapi, pada 18 April 1978 ia menemukan sesuatu yang berbeda. Ia pun mencatat dalam buku hariannya:

“Saat berjalan menyusuri Ubud, benak kami disesaki oleh banyaknya lelaki bersenjata yang gentayangan. Tampaknya, enam atau tujuh orang telah dibunuh oleh paramiliter lokal ini. Semuanya terjadi di Kuta, tapi ada ketakutan nyata bahwa para pengacau ini (orang Jawa, menurut orang Bali) akan segera hadir di Ubud untuk meneror warga sekaligus wisatawan. Sama sekali tidak ada yang remeh dalam hal ini. Bahkan Ketut, yang berumur empat belas tahun, menghabiskan sebagian besar malamnya di luar rumah bersama sekumpulan besar orang. Para lelaki lainnya membawa pentungan, kapak, tombak, dan sebagainya. Sesuatu yang serius mungkin menjelang. Ada kegirangan di pihak kaum lelaki penjaga malam itu. Suatu luapan sukacita tertentu yang mengerikan, yang mereka perolah dari keterlibatan (atau potensi keterlibatan) dalam kekerasan.”(3)

Bali terlanjur dicitrakan sebagai pulau sorga yang serba damai, serba tenteram, berpenduduk ramah, berbudaya tinggi, dan serba menyenangkan. Citra itu diperlukan agar wisatawan tetap mau datang ke sini. Citra itu ditanamkan sejak pemerintah kolonial Belanda mulai sadar bahwa Bali sangat potensial “dijual” menjadi kawasan wisata. Walhasil, segala bentuk kekerasan yang berumur sangat panjang dalam sejarah Bali pun dilupakan orang. Karena dilupakan, orang pun tak mencoba mencari akar persoalan, tak mencoba mencari penyembuh.

Saya tidak ingin mengungkap kembali berbagai kekerasan yang pernah terjadi di Bali. Saya pikir Geoffrey Robinson dalam buku “The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali” cukup memberi gambaran bahwa Bali bukanlah melulu sorga seperti tertera pada brosur-brosur pariwisata.

Sampai kini pun Bali terus saja digelitik oleh berbagai persoalan yang acap ditanggapi dengan kekerasan otot. Tekanan politik limbahan dari Jakarta —mau tidak mau— memang akan sangat deras “mengganggu” tidur orang Bali. Simpang-siur pemikiran, ketidakjelasan kebijakan, otonomi daerah yang belum tuntas benar, gerbang Bali yang terus saja dimasuki penduduk musiman, adalah bagian dari ribuan persoalan yang tidak murni berasal dari dalam Bali yang pada akhirnya sangat berpengaruh pada ketenteraman lokal.

Pun persoalan-persoalan dari dalam juga tak kalah banyak. Sampai kini, misalnya, Bali belum dengan baik bisa merumuskan hubungan antarbanjar di Bali agar bentrok antarwarga banjar tidak terjadi lagi. Bali juga belum dengan sangat sempurna menembus sekat-sekat antaragama yang menyimpan berbagai potensi konflik, kendatipun musyawarah antarelit (sekali lagi: antarelit) agama telah dilaksanakan berkali-kali. Dendam sejarah dalam masyarakat Bali juga belum benar-benar hilang akibat warisan kerajaan dan klan masa lalu. Selain itu, Bali juga memiliki dendam politik yang tidak bisa dipandang ringan sebagai akibat represi penguasa terhadap rakyat pada era orde baru.

Kini masyarakat Bali harus menerima kenyataan bahwa pariwisata menuntut pelayanan lebih. Wisatawan tidak lagi bisa menunggu musim tanam untuk melihat petani menggaru dan menanam padi di sawah. Beberapa hotel “harus” menggaji beberapa orang petani untuk terus bekerja di sawah untuk ditonton tamu hotel. Well, mungkin itu tidak seberapa.

Bagaimana kalau wisatawan tidak bisa menunggu sebuah upacara di pura dan memaksakan masyarakat selalu harus bikin upacara sebagai suguhan kepada wisatawan? Yang sudah sering terjadi: tari-tari sakral yang seharusnya hanya ditampilkan dalam upacara agama mesti diusung ke hotel untuk dipertunjukkan kepada tamu. Ini jelas menyangkut harga diri. Lompatan seperti ini pastilah akan menimbulkan konflik batin. Di satu sisi masyarakat membutuhkan wisatawan, tetapi di sisi lain ada persoalan harga diri yang dilanggar. Tidak selamanya hal-hal seperti ini bisa diselesaikan dengan mudah, memang.

Sialnya, Bali terlanjur terlampau bangga dengan kebudayaan Bali. Seakan-akan kebudayaan itu harus tetap seperti puluhan tahun —atau ratusan tahun— lalu, di mana Bali masih hanya takut pada leak dan hantu. Padahal kini masyarakat Bali lebih takut pada pencurian bersenjata, perampokan, dan serbuan penduduk baru yang sangat mungkin merebut ladang masyarakat Bali sendiri. Bali kini tidak sedang berada di alam di mana masyarakat menyerahkan sepenuhnya segala tata kehidupan kemasyarakatan kepada para raja dan punggawa. Masayarakat kini ingin menentukan sendiri semua yang bersangkut-paut dengan dirinya. Hal-hal itu tidak mungkin lagi ditanggapi dengan pola budaya yang dilestari-lestarikan. Upaya seperti itu sangat mungkin hanya akan membuat masyarakat Bali berada dalam konflik batin yang kian berdarah-darah.

Bali memang memiliki kebudayaan masa lalu yang agung, yang telah melahirkan seniman-seniman hebat, yang telah menciptakan tatanan masyarakat yang penuh dengan toleransi, damai, dan bersahabat dengan lingkungan. Sangatlah baik jika hal-hal itu dijadikan sebagai landasan untuk melangkah ke depan, menghadapi gempuran budaya luar yang tidak seluruhnya buruk. Harus diakui, misalnya, demokrasi bukanlah produk lokal budaya Bali. Budaya Bali adalah budaya yang sangat mendukung sistem monarki. Karena itu, ketika bicara demokrasi, maka Bali mestilah mentransformasikan beberapa bagian dari kebudayaannya. Bali harus berubah sebagai sebuah keniscayaan. Tetapi kalau misalnya subak, banjar, dan beberapa produk kebudayaan lain justru mampu mengakomodir pertumbuhan sosial masyarakat, maka ia mesti dilestarikan.

Islam di Bali: Kalah Sakti

Masyarakat dan kebudayaan Bali terbangun oleh beberapa gelombang perubahan akibat kedatangan orang luar, baik dari Jawa, Bugis, Lombok, dan —belakangan— oleh pertemuan berbagai budaya dunia yang dibawa oleh hiruk-pikuk pariwisata. Gelombang kedatangan orang-orang luar itu, antara lain, juga ”diikuti” orang-orang yang beragama Islam. Mereka memasuki Bali dari berbagai pintu dengan berbagai kepentingan. Yang terbesar adalah kepentingan ekonomi, selain kepentingan politik (persahabatan antarkerajaan seperti penduduk asli Pegayaman dan Kepaon).

Ada, memang, satu-dua orang da’i yang datang ingin menyebarkan agama Islam, terutama pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel. Tapi mereka gagal karena mereka kalah adu sakti dan tidak berhasil meyakinkan raja agar diberi izin untuk menyebarkan agama.(4)

Sejak semula, kedatangan umat Islam di Bali —sama seperti kedatangan orang Jawa yang beragama Syiwa— sama sekali tidak mendatangkan konflik. Tak ada sejarah yang mengungkapkan konflik fisik yang melibatkan mereka dengan penduduk lokal. Kalau pun mereka terlibat dalam pertempuran, maka mereka berada dalam barisan prajurit kerajaan tempat mereka tinggal. Karena itulah, misalnya, hingga kini masyarakat Muslim Kepaon masih tetap memiliki tempat khusus di Puri Pemecutan yang sejajar dengan para keturunan perajurit kerajaan lainnya.

Karena tidak memiliki kepentingan penguasaan daerah, umat Islam yang datang pada masa kerajaan itu sama sekali tidak pernah terlibat dalam pemberontakan maupun perlawanan terhadap raja.

Uniknya, sebagian besar pendatang pada masa kerajaan itu larut dalam kehidupan masyarakat sekitarnya secara sangat intens sehingga mereka menerima sebagian kebudayaan Bali sebagai bagian dari kehidupan mereka. Yang lebih menarik lagi, mereka memiliki kecerdasan luar biasa untuk memilah mana kebudayaan dan mana agama.(5) Sangat mungkin, hal itulah yang menyebabkan tidak adanya sentimen-sentimen keagamaan yang berarti antara umat Islam dengan umat Hindu sejak dulu hingga kini.

Yang patut dicatat, kecuali misi ke Gelgel yang gagal itu, tidak ada satu pun fakta sejarah yang menyatakan bahwa kedatangan umat Islam ke Bali untuk tujuan penyebaran agama. Kalaupun terjadi perpindahan agama masyarakat Bali ke Islam, sebagian besar diakibatkan oleh perkawinan. Kasus lain adalah yang dialami oleh kakek, nenek, dan ayah penulis. Bertiga mereka masuk Islam karena lari dari kejaran Belanda dan berlindung di Desa Pegayaman. Tinggal beberapa lama di sana, mereka pun masuk Islam. Kasus seperti ini sangat sedikit dan sama sekali tidak menggambarkan adanya upaya penyebaran agama.

Sebagian besar masyarakat Muslim yang datang pada masa kerajaan itu benar-benar telah menjadi ”orang Bali”, sebab mereka tidak lagi memiliki tempat tinggal selain di kampung mereka di Bali. Mereka menggunakan Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar sehari-hari (kecuali Kampung Loloan yang masih tetap menggunakan Bahasa Melayu) dan menyebut diri mereka sebagai Nak Selam, sedangkan masyarakat sekitarnya menyebut mereka Nyame Selam. Di Kampung Kajanan, Singaraja, malah ada ungkapan yang sangat menggelikan, yakni ”Selam Jawe” sebagai sebutan untuk pendatang baru yang tidak taat melaksanakan ajaran Islam.

Persaudaraan, kebersamaan dalam perbedaan, itulah yang telah dibangun sejak lama antara kaum Muslim dan Umat Hindu di Bali sejak mereka pertama kali datang. Kalaupun belakangan banyak muncul ganjalan dan gangguan akibat gelombang baru pendatang ke Bali (sebagian besar beragama Islam, karena sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim) di masa boom pariwisata, tetap saja hal itu bukan disebabkan oleh motif-motif agama. Sangat disayangkan kalau kejahatan, kerusakan, dan sikap-sikap tidak terpuji yang dilakukan oleh mereka dikait-kaitkan dengan agama.

Pencurian bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak peduli dia beragama Islam, Kristen, maupun Hindu. Pembunuhan bisa dilakukan oleh manusia biadab mana pun baik dia ber-KTP Islam, Hindu, Kristen, maupun Buddha.

Ketika persoalan-persoalan sosial seperti itu ditarik ke wilayah agama, maka emosi pun berdetak keras. Sangat mungkin ia akan memicu konflik-konflik tak perlu yang sangat tidak produktif. Maka saya sangat sependapat dengan mantan Kapolda Bali Soenarko DA yang terus-menerus menyerukan agar membuang jauh-jauh emosi sesaat ketika menanggapi suatu kejadian. Bisa saja kejahatan konvensional berubah menjadi persoalan besar kalau Bali tidak mampu meresponsnya dengan arif. Kapolda memberi contoh pencurian pretima (peralatan upacara agama Hindu) yang merupakan kejahatan konvensional akan berubah menjadi konflik besar bila —misalnya— kebetulan pencurinya beragama Islam dan pencurian itu dikaitkan dengan penodaan pura secara sengaja oleh kelompok agama lain.(6)

Kisah Teruna Goak dan Lain-lain

Tidak ada catatan yang cukup sahih yang menyatakan kapan dan di bagian Bali mana orang Islam pertama kali memasuki pulau eksotik ini. Beberapa data hanya mencatat kejadian-kejadian terpisah. Sebutlah, misalnya, kedatangan ”leluhur” masyarakat Pegayaman pada masa pemerintahan Raja Panji Sakti di Buleleng (sekitar abat ke-15), atau kedatangan orang-orang Islam di Gelgel pada masa pemerintahan Waturenggong. Begitu juga dengan kedatangan masyarakat muslim di Loloan yang berasal dari Trengganu, Malaysia.

Tapi kita agak sulit melacak kapan orang-orang Muslim di pesisir Buleleng mulai memasuki kawasan tak bertuan (sebelum Panji Sakti berkuasa) itu? Begitu juga dengan pedagang-pedagang di kawasan Benoa atau Pulau Serangan (Denpasar-Badung). Hal yang sama juga terjadi dengan para pelaut yang mendatangi Jembrana (yang kemudian tinggal di Loloan).

Lepas dari soal kapan mereka pertama kali menjejakkan kani di Bali, tetapi peran mereka dalam membangun Bali di masa lalu sangat tak mungkin dihapus dari sejarah. Kita bisa mencatat peran masyarakat pesisir Buleleng di sekitar abad ke-14 atau 15. Mereka tinggal di kawasan pesisir Buleleng ketika wilayah itu belum memiliki tuan (terra cognito).

Sementara masyarakat asli Bali (Bali Mula) tinggal di kawasan pegunungan. Para pendatang di pesisir Buleleng itu merupakan pedagang dan pelaut-pelau tangguh yang berasal dari Jawa, Madura, Bugis, dan beberapa pulau lain.
Jauh sebelum Ki Barak Panji Sakti menyatukan berbagai kelompok di Buleleng dan mendirikan kerajaan, masyarakat Bali asli yang tinggal di pegunungan dan masyarakat pesisir (Islam) telah melakukan berbagai kegiatan perekonomian berupa barter komoditas. Belakangan, ketika Ki Panji Sakti berkuasa (1629-1680), ia membangun sebuah pasukan yang dikenal dengan sebutan ”Teruna Goak” (Elang Muda). Pasukan ini terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang ada, yakni berbagai klan masyarakat asli dan kelompok-kelompok masyarakat pesisir yang terdiri dari keturunan Bugis dan orang-orang Jawa.

Pasukan Teruna Goak ini terkenal tangguh. Merekalah inti pasukan yang menaklukkan Kerajaan Blambangan (Banyuwangi) dan terus bergerak sampai memasuki wilayah Pasuruan (1659). Pergerakan pasukan gado-gado ini ”menggegerkan” Kerajaan Mataram. Tak mau ”membuang tenaga banyak”, Kerajaan Mataram memilih upaya diplomasi untuk meredam gerak maju Teruna Goak. Beberapa perwira diutus menghadap Panji Sakti dengan membawa hadiah berupa gajah. Upaya diplomasi ini disambut baik di Buleleng dan para perwira asal Mataram ini diberi sebidang tanah untuk ditinggali. Kini keturunan para perwira Mataram ini masih tinggal di Desa Pegayaman. Mereka, oleh Babad Buleleng, disebut ”tindih” (pembela).

Pada masyarakat Loloan, cerita kerja sama antara pedagang asal Trengganu dengan penduduk setempat juga berlangsung sangat intens. Penduduk setempat menyerahkan hasil bumi mereka kepada para pedagang pelaut yang tinggal di Loloan untuk diperdagangkan di Batavia (Jakarta), Sumatra, atau Malaka. Uniknya, penduduk setempat sangat memercayai para pedagang Trengganu ini hingga tak jarang mereka menyerahkan barangnya tanpa pembayaran sama sekali. Nanti setelah para pedagang itu kembali dari berniaga, barulah pembayaran dilakukan. Sepanjang sejarah perdagangan seperti itu, tidak pernah terdengar ada persoalan antarmereka akibat penipuan.

Penduduk Loloan juga memiliki peran sangat besar dalam ikut menyumbang kebudayaan setempat. Seorang saksi sejarah pernah bertutur kepada penulis. Umi Kaltsum (almarhumah)(7), seorang penduduk Loloan, masih sempat menyaksikan bentuk kesenian Jegog yang asli, di mana dalam kesenian khas Kabupaten Jembrana itu ”jejak” umat Islam sangat kentara. Pada kesenian itu, misalnya, ada alat musik rebana ditabuh oleh masyarakat Loloan, sedangkan alat musik lain ditabuh warga asli setempat yang beragama Hindu. Dalam tari-tariannya, ada satu karakter yang dipanggil Tuan Thag. Biasanya ditarikan oleh warga Loloan dengan mengenakan pakaian ala penari Darwis Turki.

Sekitar tahun 1990-an Bupati Jembrana mengundang perancang tari dari STSI Denpasar untuk membenahi tetabuhan dan tarian Jegong. Hasilnya, Jegog berubah menjadi tabuh dan tari ala Denpasar. Penulis sempat menanyakan hal ini kepada Bupati Jembrana (waktu itu, Ida Bagus Indugosa). ”Habis, tariannya hanya merupakan gerakan-gerakan pencak silat,” jawabnya kala itu.

Cerita perdagangan ala Loloan itu juga terjadi di Benoa dan Pulau Serangan. Sedangkan masyarakat Kepaon (Denpasar) mendapatkan posisi khusus di Kerajaan Pemecutan, karena kelompok Muslim itu merupakan bagian dari pasukan kerajaan. Hingga kini pun mereka tetap diundang dan didudukkan sejajar dengan para kesatria kerajaan bila Pemecutan sedang mengadakan upacara atau kegiatan-kegiatan adat.

Masyarakat muslim Karangasem sebagian besar dibawa oleh para raja Karangasem dari Lombok setelah kawasan itu ditaklukkan. Mereka diangkat menjadi prajurit kerajaan dan diberikan tanah untuk membangun permukiman.
Pada prinsipnya, kehadiran umat Islam di Bali pada sekitar abad ke-13 hingga abad ke-15 bolehlah disebut sebagai gelombang kedatangan pertama. Mereka memberi sumbangan sangat besar bagi Bali.

Gelombang kedua kedatangan umat Islam ke Bali adalah pada masa awal kemerdekaan. Saat itu tingkat pendidikan masyarakat Bali masih sangat rendah, sehingga untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu pada kantor-kantor pemerintah didatangkan dari luar, terutama dari Jawa. Itulah masa ketika sebagian besar kantor pemerintah di Bali dipimpin oleh orang-orang Islam. Mereka merambah kota dan mendapatkan posisi cukup terpandang.

Belakangan, ketika pariwisata Bali mencapai masa keemasan di tahun 1980-an, ribuan orang datang ke Bali untuk berebut kue yang teramat besar, yakni kue pariwisata. Kedatangan gelombang ketiga ini sangat besar dan bersamaan dengan itu masyarakat Bali telah pula mendapatkan pendidikan yang memadai. Wajar kalau kemudian terjadi banyak pergeseran. Persoalan kemudian muncul ketika industri yang ditunjang pariwisata seperti garment mulai bangkit di awal tahun 1990-an. Tenaga penjahit, tukang potong, dan pekerja-pekerja dengan keahlian khusus seperti itu kembali harus didatangkan dari luar Bali. Di sisi lain, sektor informal pun —yang tidak dilirik penduduk setempat— seperti gula untuk ribuan semut. Tukang gali parit, pekerja jalan, pemetik kelapa, pemetik padi, pemulung, dan pekerjaan kasar lainnya pun menjadi lahan ”bidikan” pendatang dari luar Bali yang sebagian besar beragama Islam.

Apakah semua itu pantas disebut sumbangan umat Islam bagi Bali? Sangat mungkin bisa menjadi perdebatan panjang. Sayangnya, dalam kondisi yang sudah tidak terlalu bagus, datang pula para durjana seperti Amrozi dkk yang membom Bali. Dua kali.

Tuhan Milik Bersama (Refleksi)

Hidup dalam lingkungan yang plural, di mana perbedaan begitu banyak ditemukan saban hari, di mana perjalanan hidup begitu simpang siur dan tidak semua orang berjalan pada satu jalur, memang dibutuhkan kearifan besar untuk saling memberi tempat, untuk berbagi secara proporsional.

Pada dasarnya saya tidak pernah percaya ada konflik karena persoalan agama. Saya tidak pernah percaya kalau ada konflik yang disebabkan oleh keyakinan agama. Agama tidak pernah mengajarkan konflik. Manusialah yang menunggangi agama untuk kepentingan-kepentingan di luar agama. Paling tidak, itulah keyakinan saya sebagai seorang Muslim yang kebetulan dilahirkan dari orangtua yang berasal dari agama Hindu sehingga saya masih memiliki banyak keluarga yang beragama Hindu. Paling tidak, itulah keyakinan saya sebagai seorang Muslim yang tidak yakin Tuhan akan sangat kejam menyiksa saudara-saudara saya beragama Hindu hanya karena mereka teguh pada keyakinannya dan melaksanakan keyakinannya itu dengan damai, memanusiakan manusia, dan tidak pernah berbuat keonaran.

Kita meyakini sebuah agama —bernama Islam— yang damai, sesuai dengan namanya. Kita meyakini sebuah agama yang mengkui jutaan nabi yang diturunkan kepada umat manusia. ”Tidak ada satu kelompok manusia pun di muka bumi yang tidak diturunkan nabi kepadanya.” Begitulah Al Quran berkata. Kalau kita harus beriman kepada jutaan nabi-nabi itu, kenapa kita harus memusuhi ajaran-ajarannya?

Kita mengimani kitab-kitab yang diturunkan Tuhan melalui nabi-nabinya. Bukan hanya Al Quran. Kita mengimani satu Tuhan yang juga milik orang Kristen, milik orang Hindu, milik orang Budha, milik orang Kong Hu Cu, milik semua manusia. Kita mengimani Hari Akhir tempat manusia mempertanggungjawabkan segala perbuatannya secara pribadi. Karena itu, kita tidak akan masuk neraka hanya karena kita bertetangga baik dengan orang Hindu atau dengan pemeluk agama lain.

Lalu, apa alasan kita untuk bermusuhan dengan pemeluk agama lain? Apa alasan saya untuk mengusik keyakinan orang lain?

Kalau ajaran damai seperti itu melahirkan manusia-manusia yang suka berang, manusia-manusia yang senang merusak dan menumpahkan darah, kita pantas bertanya: apa yang terjadi? Saya sangat yakin, ada kesalahan besar dalam memahami ajaran-ajaran sederhana itu. Saya juga memiliki keyakinan, ada faktor-faktor eksternal yang mendorong lahirnya pemahaman-pemahaman bias tadi.

Saya sangat sependapat dengan Mahatma Gandhi yang menyatakan, ”Jadilah Muslim yang baik, Jadilah orang Hindu yang baik, jadilah Kristen yang baik, maka kita akan hidup berdampingan dengan damai.”

Tapi, kemudian, saya teringat film ”Gandhi” yang dimainkan dengan sangat baik oleh Ben Kingsley. Saya masih bisa membayangkan bagaimana Gandhi tertunduk lesu ketika Nehru dan Ali Jinnah berseteru dan berakhir dengan pemisahan Pakistan dari India. Saya pun terhenyak ketika dalam kerumunan ribuan manusia yang mengelu-elukannya, Gandhi tersungkur oleh peluru yang ditembakkan pemuda Hindu yang fanatik dan tidak paham pada jalan damai yang ditempuh Gandhi.

Terima kasih.

———————–
Catatan:
1)Disampaikan dalam Kongres Mahasiswa Muslim Bali se-Jawa Timur di IAIN Sunan Ampel Surabaya, 20 – 22 Maret 2009
2)Penulis adalah wartawan dan sesekali menulis masalah kebudayaan, politik, agama, dan kesusatraan di berbagai media
3)Geoffrey Robinson, Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasa Politik, terjemahan Arif B Praetyo, PT LKiS Pelangi Aksara, Hlm. xi.
4)Konon raja mengajak beradu kesaktian. Kalau raja kalah, mereka diizinkan menyebarkan Islam. Sebaliknya, kalau mereka yang kalah, maka mereka hanya boleh tinggal di Gelgel tetapi tidak boleh berda’wah. Setelah adu kesaktian dilakukan, para pendatang itu kalah. Mereka pun menepati janji hanya tinggal di Gelgel tanpa berusaha mengajak penduduk memeluk Islam.
5)Masyarakat Pegayaman, misalnya, memasukkan unsur-unsur budaya Bali dalam kehidupan kemasyarakatan, kekeluargaan, dan acara-acara tertentu yang tidak langsung berkaitan dengan syariat agama seperti perayaan maulid nabi. Mereka sama sekali tidak memasukkan unsur-unsur Bali dalam kegiatan upacara resmi keagamaan seperti Idul Fitri dan Idul Adha di masjid. Kendati demikian, mereka tetap mengenal istilah penampahan, penyajaan, penapean, dan manis lebaran. Mereka pun sama sekali tidak pernah menggunakan simbol-simbol keagamaan Hindu dalam upacara-upacara itu.
6)Ceramah Kapolda Bali (waktu itu), Irjen Pol. Drs. Soenarko DA di hadapan umat Muslim se-Bali di Denpasar dan di Yayasan La Raiba Tabanan
7)Ketika diwawancarai pada tahun 1990, Umi Kultsum telah berumur sekitar 70-an tahun


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ASSALAMU'ALAIKUM....
BAGI YANG INGIN BERKOMENTAR SILAHKAN

Pengikut